Baca blog gw sama aja kayak baca tulisan cacat dan gak berbobot. Gak akan ada kata-kata ato cerita yang bermanfaat bagi Nusa dan Bangsa. Paling cuma bisa buat obat susah eek aja. Karena cerita disini berpotensi membuat anda mual-mual dan mules-mules.. hehe
Posted on Minggu, September 06, 2015

Empat Bulan Kemudian (Every Street Has a Story)

By Afaa Alghifaary di Minggu, September 06, 2015

Suatu malam tanggal 5 Mei 2015

Gue dan dia duduk berdua di sebuah rumah makan di daerah Jakarta Selatan. Awalnya kita ngobrol tentang kerjaan, tentang temannya, dan lain-lain. Sampai saat bahan obrolan sudah habis, tiba-tiba dia nanya ke gue "Kita kapan putus?"

Gue diam. Memang hubungan kita kayaknya udah gak bisa dipertahanin lagi. Gue dan dia beda iman. Itu yang memberatkan hubungan kita. Dan selama beberapa minggu terakhir gue ngerasa kalau dia udah beda.

"Kapan kamu mau putusin aku?" tanya dia lagi. "Terserah kamu. Aku gak mau putusin kamu. Perjuangan aku udah berat buat dapetin kamu. Jadi aku gak mau putusin orang yang udah aku perjuangin mati-matian. Tapi kalau kamu minta putus, aku terima. Aku gak mau paksa." kata gue sambil tersenyum. Senyum yang pastinya gue paksakan.

Dia diem. Gue juga diem. Selama beberapa menit kita gak ada omongan. Lalu tiba-tiba dia bilang "Kita putus sekarang".

Agak kaget karena permintaan yang mendadak itu, gue gak langsung merespon permintaan dia. "Kita putus sekarang ya?" tanya dia lagi.

"Iya." jawab gue singkat.

"Kok iya doang?"

"Aku gak mau maksa," jawab gue berusaha tersenyum.

"Kamu tau kan alasan aku minta putus apa? Kamu paham kan?"

"Iya. Yaudah yuk kita pulang." Kata gue. Gue tau, iman yang menbuat dia terpaksa bilang putus. Dia gak mau masuk agama gue, gue juga gak mau masuk ke agama dia. Mentok. Mungkin berpisah memang jalan terbaik satu-satunya.

Gue lalu membayar ke kasir dan kita lalu bergegas pulang. 

Di parkiran, saat itu dia gak bawa jaket. Gue minta dia buat pake jaket gue biar dia gak kedinginan. Tapi dia menolak. Gue lalu bilang, "Selama ini aku gak pernah minta kamu buat begini, begitu. Tapi sekali ini aja. Terakhir kali. Tolong dengerin kata aku. Yaa.."

Dia lalu memakai jaket gue. Motor pun melaju ke rumahnya.

***

Di jalan, kepalanya bersandar ke bahu gue yang saat itu cuma pakai kemeja. Gak lama gue ngerasain kemeja gue terasa basah. Tadinya gue pikir dia ketiduran sambil ngiler. Tapi pas gue lihat dari spion, ternyata dia nangis. Gue liat pipinya yang masih basah oleh air mata.

"Kamu nangis?" tanya gue. Bodoh sih pertanyaan gue. Ya kali dia lagi salto. Jelas-jelas pipinya basah gitu.

"Aku gak tau apa aku bisa tanpa kamu. Selama ini aku kemana-mana ama kamu. Pulang kerja ama kamu. Tapi mulai besok udah gak lagi" jawab dia.

"Udah. Jangan nangis. Nanti kamu juga dapet orang yang lebih baik dari aku. Yang jauh lebih sayang dari aku. Orang yang selalu nganterin kamu pulang pergi. Orang yang putih. Gak gendut kayak aku. Jadi kamu gak perlu repot-repot lagi nyuruh dia diet". Gue berusaha menenangkan dia.

"Tapi aku maunya ama kamu. Sayang ya, perbedaan kita gak bisa disatuin." Kata dia lagi.

Gak lama motor gue pun sampai di depan gang rumahnya. Gak lama dia turun. Gue lihat air matanya masih turun ke pipi.

"Udah jangan nangis lagi. Senyum dong" kata gue sambil mengusap pipinya.

Bukannya tenang, dia malah makin tambah nangis. Sesenggukan.

Akhirnya gue minta dia jalan lagi naik motor. Minimal sampai dia bisa berhenti nangis. Kita pun muter-muter gak karuan karena dia gak mau kita berhenti atau sekedar nyemil di suatu tempat.

"Kamu curang. Kamu gak nangis. Cuma aku yang nangis. Curang". Gue denger dia bilang gitu selama perjalanan.

"Kamu curang. Kamu udah gak sayang kan? Kalau kamu masih sayang, pasti kamu nangis juga".

Gue lalu menjawab singkat, "Kalau aku udah gak sayang, aku pasti udah putusin kamu dari dulu-dulu. Tapi gak kan?"

Setelah muter-muter beberapa menit dan dirasa dia udah mulai tenang, gue pun mengantar dia pulang. Di depan gangnya, gue bilang ke dia. "Jangan sedih lagi. Aku masih sayang sama kamu kok. Suatu saat nanti, kamu pasti dapat orang yg lebih baik dari aku. Yang seiman. Yang bisa bikin kamu bahagia. Gak kayak aku yang cuma bisa ngeselin doang".

"Terus kamu gimana?" tanya dia.

"Aku udah bahagia saat liat kamu nanti bahagia". Jawab gue. "Udah, jangan nangis lagi ya. Senyum dong".

Dia senyum. Senyum yang pastinya juga dipaksakan. Gue lalu memeluk dia buat terakhir kalinya. Erat. Saat itu gue bener-bener ngerasa gak mau lepasin pelukan gue dari dia.

Gue lepas pelukan dia. Dia cium tangan gue, lalu bilang "Kamu hati-hati ya. Jangan lupa diet walau udah gak ama aku. Jangan nakal juga". Gue ngangguk. Dia lalu berjalan masuk ke gang rumahnya. Gue menunggu sampai bayangannya hilang di belokan. Gue menghela napas. Menstarter motor gue lalu pulang.

Di jalan, tanpa terasa air mata gue menetes dengan sendirinya.

***

Awal kita putus, beberapa kali gue masih jemput dia. Walau gak setiap hari. Bulan puasa gue masih jalan sama dia. Waktu itu gue nemenin dia nonton Jurassic World. Sebenernya gue udah nonton film itu, tapi karena nontonnya sama dia, gue rela nonton buat kedua kalinya.

Malam Takbiran.

Gue whatsapp dia. Gue mau anterin keripik bawang permintaan dia. Waktu itu dia ngasih gue kue keju, dan dia minta keripik bawang buatan sendiri. Dia gak mau kalau beli dari toko.

Saat itu entah kenapa dia jadi beda lagi. Selalu sibuk saat gue whatsapp. Gue telepon juga gak diangkat. Akhirnya malam lebaran kedua, gue whatsapp lagi. Gue cuma mau kasih keripik bawang doang. Takut keburu gak enak karena udah kelamaan.

Malam itu jam 8 malam dia bilang dia ada dirumah. Gue meluncur kesana. Cuma kasih keripik bawang dan nastar, lalu pulang. 

***

Tanggal 21 Juli 2015.

Gue whatsapp dia ngajakin jalan. Kebetulan hari itu masih libur kerja dan udah jarang tamu yang datang ke rumah. Sebelumnya, tanggal 19 dan 20 gue juga ajakin dia jalan. Tapi dia selalu bilang gak bisa karena lagi diluar.

Hari ini juga dia bilang gak bisa. Gue balas, "Iya kalau gak bisa gak apa-apa." 

Setengah jam kemudian, dia tiba-tiba whatsapp gue. "Sebenernya aku gak kemana-mana tau hari ini."

"Oohh. Yaudah gak apa-apa kok." balas gue.

"Emm.. kita gak bisa kayak gini terus. Aku mau buka hati buat orang lain. Makanya dari kemarin aku nolak ajakan jalan kamu"

Bagai disambar petir di siang bolong pas gue baca whatsapp dari dia. Gue lalu balas, "Iya gak apa-apa. Selamat ya. Semoga langgeng sama cowok yang udah kamu buka hatinya."

Cuma dibaca. Tapi gak lama dia whatsapp lagi "Tapi aku masih boleh kerumah kan? Masih boleh ketemu Ibu? Masih boleh main sama Chelomita? Terus kita masih bisa ketemu kan?" 

"Iya. Tapi ajak gebetan kamu ya." jawab gue singkat.

***

5 September 2015

Tepat sudah 4 bulan gue berpisah. Dan 1,5 bulan semenjak dia mulai mencoba membuka hati buat cowok lain. Tapi hati gue masih belum kemana-mana.

2 minggu lalu, gue ke tempat teman gue di daerah Kemang. Perjalanan dengan rute sama yang gue tempuh waktu dulu jemput dia pulang kerja. Dari rumah, ke jalan panjang. Flyover Simprug belok kiri. Terusss.. belok kiri, kanan tembus di Barito. Perempatan belok kiri ketemu lampu merah Melawai. Sampai disitu biasanya gue whatsapp dia, "Aku udah mau sampai". Kalau dia udah selesai, dia pasti balas "Iya tunggu." Gue lalu akan nunggu di bawah pohon di dekat tukang indomie.

Kalau belum, dia akan balas "Masuk aja dulu". Gue akan memarkir motor dan menunggu dia dalam kantornya.

Hari itu. Semua kenangan itu muncul begitu aja. Gue melewati jalan yang sama. Lalu muncul kenangan yang sama.

Gue melewati kantor dia. Gue menengok ke arah sana sebentar. Pedih memang. Dulu hampir setiap sore gue kesitu. Jemput dia. Kegiatan rutin yang udah gue lakuin hampir 5 tahun. Sejak awal dia masuk kerja.

Gue bukannya gak bergerak maju. Selama 2 bulan ini gue mencoba membuka hati. Gue jalan sama temen gue. Bukan cuma 1 orang, tapi tiga. Tapi saat jalan, gue selalu keingetan dia.

Bukan sekali ini gue putus sama dia. Mungkin 2 atau 3 kali. Tapi keesokan harinya kita balikkan. Namun beda sama yang sekarang.

Sudah beberapa bulan ini kita komunikasi seadanya. Sekata dua kata. Itupun gak setiap minggu kita komunikasi. Gue juga gak mau ganggu dia yang lagi berusaha membuka hati buat orang lain.

Minggu lalu, gue pulang dari Depok. Gue lewat Pasar Minggu. Sampai di Pomad, gue belok kiri. Melewati jalan yang suka gue lalui juga kalau gue habis dari daerah Pasar Minggu dan sekitarnya dengan dia. Gue lewati jalan itu. Jalan yang masih penuh kenangan. Dia biasanya memeluk gue dengan erat. Di depan gangnya, gue berhenti. Saat gue mau berbalik arah buat pulang, dia pasti bilang "Hati-hati ya. Kalau udah sampai kabarin".

Jalan memang selalu punya cerita. Kadang cerita senang, kadang cerita sedih. Sudah empat bulan berlalu, tapi cerita itu masih tetap ada disini.


*Kebon Jeruk, 6 September 2015. Ditulis sambil dengerin emak gue nonton Tukang Bubur Naik Haji.

2 komentar

Unknown on 17 Oktober 2015 pukul 00.48  

Aseli kaya ftp cerita lu.. Sedih fa gw bacanya.. Yg sabar bro.. Semoga bisa cpt move on..


Unknown on 17 Oktober 2015 pukul 00.48  

Aseli kaya ftp cerita lu.. Sedih fa gw bacanya.. Yg sabar bro.. Semoga bisa cpt move on..