Baca blog gw sama aja kayak baca tulisan cacat dan gak berbobot. Gak akan ada kata-kata ato cerita yang bermanfaat bagi Nusa dan Bangsa. Paling cuma bisa buat obat susah eek aja. Karena cerita disini berpotensi membuat anda mual-mual dan mules-mules.. hehe
Posted on Minggu, Desember 27, 2015

Kisah Ibuku

By Afaa Alghifaary di Minggu, Desember 27, 2015

5 hari lalu hari ibu. Walau telat, gue mau sedikit bercerita tentang ibu gue. Setelah di postingan beberapa tahun lalu gue pernah cerita ibu gue yang luar biasa dalam mendidik gue saat gue kecil, kali ini gue mau cerita soal ibu yang mengajarkan apa arti sayang.

Beberapa tahun lalu. Waktu itu gue jujur ke ibu. Cewek yang sekarang udah jadi mantan, beda iman dengan gue.

Ada berbagai macam perasaan takut ketika gue cerita soal itu. Takut disuruh menjauh, takut disuruh melepas, dan yang lebih parah, takut kita dipaksa untuk putus.

Ibu gue diam. Gue tahu beliau pasti sedang menahan sedih. Atau bahkan kecewa. Sebelumnya ibu pernah beberapa kali ketemu si mantan, tapi ibu gak tahu apa agamanya. Karena mantan gue takut kita dipaksa pisah kalau keluarga gue, terutama ibu gue tau kita beda iman.

"Mawar baik ya," kata ibu gue mulai membuka omongan. Demi masa depannya yang lebih cerah, kita sebut aja mantan gue dengan sebutan mawar.

"Iya ma," kata gue singkat.

"Udah berapa lama kamu sama dia?"

"Udah lama ma," jawab gue tanpa merinci udah berapa lama hubungan kita.

Ibu mengusap air matanya yang turun sedikit. Dia tersenyum, lalu bilang "Kamu yakin?"

"Yakin Ma". Kata gue mantap.

"Kalau kamu yakin, terusin. Kalau gak, lebih baik kamu ikhlasin dia bahagia sama orang lain. Sebelum terlalu jauh dan kalian makin sayang." Kata beliau. "Tapi kalau kamu lanjut, inget kata mama. Jangan pernah kecewain dia," pesan ibu gue.

Gue tersenyum, ada rasa bangga di diri gue. Punya ibu yang mengerti dan bisa menghargai perbedaan kita dan mawar.

Seketika semua rasa takut itu lenyap begitu aja saat mendengar jawaban ibu.

***

Hari-hari berikutnya mawar sering main ke rumah gue. Tentu sambutan keluarga gue, terutama ibu gue sangat hangat ke dia. Padahal keluarga gue tau kalau mawar beda iman dengan kita. Tapi prinsip ibu gue, semua orang itu saudara. Kepada saudara kita harus bersikap baik.

Beberapa lama kemudian, bokap gue meninggal. Disaat itu mawar beberapa kali juga menjenguk ibu gue yang saat itu lagi down karena kehilangan suaminya. Saat tahlilan bokap, mawar juga beberapa kali datang dan akhirnya kenal sama keluarga besar gue. Waktu itu ibu gue seneng banget tiap mawar datang. Katanya mawar bisa bikin dia semangat. Mawar orang yang pendiem, kalem. Itu yang ibu gue suka.

***

Sayangnya, beberapa bulan lalu kami harus putus. Gue merasa ada yang hilang saat itu. Gak ada mawar lagi di kehidupan gue. Gak ada mawar lagi di hari-hari gue.

Ibu yang merasa heran karena mawar gak pernah main lagi ke rumah, bertanya sama gue.

Gue pun jujur. Gue jawab kalau gue udah gak sama mawar lagi. Saat putus gue memang sempat down. Tapi annehnya gue gak sampai menangis.

Namun saat gue cerita ke ibu kalau gue udah putus sama mawar, gue malah melihat ibu terdiam. Gak lama air matanya keluar. Perlahan. Air mata yang sama kayak saat dia kehilangan bokap gue.

"Dia baik ya," kata ibu mengulang kata-kata yang pernah dia ucap waktu gue jujur soal keyakinan mawar. "Kenapa kalian putus?"

"Mama pasti tau apa alasannya," jawab gue.

Nyokap memandang gue. Masih menahan tangis, dia bilang "Mama sayang sama mawar". Gue tersenyum saat mendengar omongan ibu. Kecut. Beliau lalu meneruskan ucapannya. "Tapi sayang ya, dia beda sama kita."

Beliau terdiam sebentar. "Kenapa gak tunggu 1 atau 2 tahun lagi sambil cari titik temu?"

Gue juga diam sebentar. "Gak bisa Ma. Dia minta putus. Aku gak bisa nahan dia. Aku juga sayang dia. Tapi aku harus relain dia cari yang lain. Bahagia sama yang lain yang seiman. Kayak yang dulu mama bilang."

"Memang kamu udah gak yakin?" tanya nyokap lagi.

"Aku masih yakin. Tapi rasa yakin aku bakalan percuma, kalau di dianya udah mulai gak yakin sama hubungan kita," jawab gue.

Ibu mengusap pipinya yang mulai mengering. Lalu beliau bilang, "Salam ya buat mawar. Bilang dia, apapun yang terjadi, dia udah mama anggap kayak anak sendiri. Jangan anggap keluarga kita orang lain.

Ibu tersenyum. Senyum yang mungkin saat itu terpaksa.

***

Jumat itu ibu gue senang. Ceria. Gue bilang ke ibu kalau besok mawar mau main ke rumah. Dia mau ketemu ibu gue. Kangen katanya. Sekalian mau perpisahan. Mungkin setelah ini gak akan main ke rumah lagi.

Rencananya mawar mau datang jam 12 siang. Setelah dzuhur.

Sabtunya, tiba-tiba jam 10 pagi handphone ibu bunyi. Temannya mengabari kalau salah satu teman ibu meninggal dunia. Teman yang menelpon itu mengajak ibu buat melayat bareng. Tapi ibu bilang dia bisa pergi melayat sekitar jam 2 siang. Karena mau ada tamu datang ke rumah. Untungnya, temannya menyanggupi.

***

Jam setengah 2.

Mawar belum datang juga. Ternyata sebelum ke rumah, dia lebih dulj menjenguk teman kantornya yang kena DBD di RSPP. Mawar bilang ke gue, kalau dia sampai ke rumah sekitar jam 3. Gue lalu mengabari ibu. Ibu langsung menelpon temannya, minta waktu melayat diundur sampai jam 4. Biar dia bisa ketemu mawar.

Jam 4 kurang 15. Mawar belum sampai karena jalanan macet. Akhirnya ibu jalan melayat temannya, karena gak enak sudah menunda 2 kali. Sebelum jalan, ibu titip salam buat mawar. Jaga diri baik-baik, jangan lupain ibu sama keluarga disini.

Jam setengah 5 mawar sampai dirumah. Gue lalu menyampaikan salam ibu.

***

Itu terakhir kali mawar main ke rumah. Setelah itu, dia gak pernah main lagi. Setelah itu pula, ibu sering bertanya kabar mawar. Ibu juga sering titip salam buat mawar.

4 bulan setelah kita putus, abang gue menikah. Ibu menyuruh gue mengundang mawar. Saat resepsi, ibu menunggu mawar sampai malam. Dia selalu minta gue buat tanya apakah mawar datang atau enggak? Ibu pengen banget ketemu dia. Tapi gue gak mau, karena gue gak enak nanya kayak gitu. Apalagi yang gue dengar, saat itu mawar baru jadian sama teman ibadahnya.

Jam 9 malam mawar whatsapp gue, minta maaf kalau dia gak bisa datang. Ibu tersenyum. Dia bilang gak apa-apa. Pasti mawar lagi sibuk. Titip salam ibu buat dia.

***

3 hari kemudian mawar minta gue jemput ke kantornya. Dia mau titip kado buat abang gue. Ibu gue senang waktu gue bilang mau ketemu mawar. Yang ada di pikirannya, mawar sekalian main ke rumah. Tapi ternyata enggak.

Dan malam itu, gue juga dengar dari mulut mawar sendiri, kalau dia memang udah punya cowok baru.

***

Seminggu kemudian jadi hari yang paling "hancur" buat gue. Saat gue lagi whatsapp-an sama mawar, dia ganti profil picture berdua sama cowoknya. Waktu itu gue bener-bener ngerasa down banget. Jauh dan amat sangat jauh lebih down dibanding saat kita putus. Waktu putus gue bahkan gak menangis. Ibu gue malah yang menangis. Tapi kali ini gue merasa dunia gue kayak runtuh.

Gue langsung berubah drastis. Gue yang tadinya usil, jadi pendiam. Gue yang tadinya ceria, langsung pemurung. Gue bahkan sempet gak nafsu makan, sampai berat badan gue turun 5 kilo. Dan gue juga sempat minta cuti kerja, cuma sekedar buat tenangin hati gue.

Disaat itu, ibu ngelihat ada yang aneh di diri gue. Dia lalu bertanya ke gue. Gue jawab dengan jujur. Dia tersenyum, mendekati gue lalu bertanya, "Kamu sayang sama dia?"

Gue diem.

"Kalau kamu sayang sama dia, kamu tahu kan harus ikhlasin dia," kata ibu lagi. "Mama juga sayang kok sama dia. Sayang banget. Mama yakin rasa sayang mama ke mawar lebih besar dari rasa sayang kamu ke dia. Tapi kita bisa apa? Kita gak bisa berbuat apa-apa selain ngedoain mawar bahagia sama pacar barunya. Mawar gak mau masuk agama kita kan? Kamu juga gak mungkin masuk ke agama dia. Kalian putus karena iman, dan sekarang mawar punya pacar yang seiman. Salah dia apa?"

"Buka block whatsapp kamu." Ibu gue tau kalau saat itu gue block mawar karena gue belum bisa liat pp dia sama cowok barunya. "Minta maaf ke dia. Salam juga dari mama. Bilang mawar, jaga diri baik-baik. Jangan mau kalau diajak macam-macam sama cowok," kata ibu lagi. Di akhir salamnya, ibu selalu bilang, "Kalau mau main ke rumah, main aja. Rumah ini selalu terbuka buat mawar. Dan kalau ada perlu apa-apa kabarin aja. Kita selalu ada buat bantu mawar".

***

2 hari yang lalu adalah hari Natal. Natal kali ini berbeda sama Natal sebelumnya. Di tahun-tahun sebelumnya, tiap natal pasti ibu bilang "Kamu gak main ke rumah mawar? Sekedar ngucapin sambil bawa kue kesana?"

Biasanya gue jawab dengan senyum doang. Kalau udah gitu ibu pasti keluarin jurus ceramahnya. Dia bilang gue harus baik juga ke keluarga mawar. Mawar udah baik banget ke keluarga kita. Bla bla bla...

Gue paling cuma mesem dalam hati. Karena ibu gak tau gimana. Gue bahkan gak dikenalin ke keluarganya, karena mawar yakin kalau keluarganya tahu dia pacaran dengan orang yang beda iman, pasti dia dipaksa putus. Makanya backsteeet dari keluarganya adalah salah satu cara mawar buat pertahanin hubungan kita selama bertahun-tahun.

Tapi natal tahun ini beda. Ibu gak menyuruh gue lagi buat datang ke rumah mawar. Sepertinya ibu tahu dengan kondisi sekarang, amat sangat gak mungkin gue untuk main kesana. Ibu cuma minta tanyain gimana kabar mawar. Titip salam, dan juga ucapan selamat natal buatnya.

***

Ya, itulah ibu gue. Dia orang yang sangat bisa menghargai perbedaan. Beliau mempunya prinsip. Prinsip yang sampai sekarang mungkin belum bisa gue terapin : semua orang adalah saudara.

Beliau juga sayang banget sama mawar.

Gue inget waktu beliau habis operasi mata. Saat itu beliau harus dibius total. Ketika siuman, hal yang pertama dia tanya yaitu : "mawar gak kesini?"

Waktu itu padahal abang dan kakak gue belum datang. Tapi yang pertama ditanya adalah mawar.

Dia sering bilang kalau dia udah sayang sama mawar. Tapi kalau nikah nanti, walau menghargai, dia gak setuju kalau gue ikut mawar. Dia mau mawar yang ikut gue. Untuk hal lain-lain kayak adat, lokasi nikah, dll dia akan mengalah. Tapi tidak soal keyakinan.

***

Hampir jam 7 malam. Gue baru sampai rumah sehabis pulang kerja. Gue duduk di depan tivi. Waktu itu gue belum terlalu semangat. Walau nafsu makan mulai berangsur normal.

Ibu menghampiri gue. Dia duduk disebelah gue.

"Kamu masih kepikiran mawar?" tanya ibu.

Gue cuma menunduk.

"Kamu masih sayang sama mawar?" Gue diam. Gak menjawab. Ibu tahu kalau gue diam berarti jawabannya iya.

"Mama juga sayang kok sama mawar. Sayang banget. Tapi mama gak setuju kalau kamu ikut mawar. Dianya gimana? Mau ikut kita?"

Gue menggeleng.

"Mama gak mau maksa". Tiba-tiba ibu gue bilang begitu. "Mama memang gak setuju, tapi kalau menurut kamu itu yang terbaik, mama gak mau maksa. Lakukan yang terbaik menurut kamu. Kamu udah besar," kata ibu berusaha tersenyum.

Gue diam lagi. Ada perasaan campur aduk di hati gue. Antara yakin dan galau.

"Sholat Isya dulu. Udah adzan."

Ibu lalu bergegas mengambil wudhu.

***

Malamnya gue sengaja memasang alarm jam 3 pagi. Gue mau shalat tahajjud dan istikharah. Meminta petunjuk yang sebenarnya gue tahu kalau Tuhan gue gak akan memberikan jawaban yang ibu gak setujui.

Gue beranjak dari kasur dan bergegas ke wc untuk ambil wudhu. Untuk menuju wc, gue harus melewati kamar ibu. Dari zaman kecil sampai sekarang, kebiasaan ibu adalah gak pernah menutup pintu kamar saat tidur malam. Jadi kita bisa melihat ke dalam kamar ibu.

Saat gue melewati kamar ibu, gue melihat ibu gue yang sedang tertidur. Damai. Tenang.

Bodoh sekali kalau gue ngecewain ibu. Gue tahu ibu memang sayang banget sama mawar. Tapi gue yakin beliau pasti kecewa kalau gue ikut mawar. Walaupun dia mempersilahkan gue lakukan yang terbaik menurut gue.

Gue lantas merubah niat. Dari yang awalnya meminta petunjuk apa yang harus gue pilih, gue merubah untuk memantapkan pilihan dan hati gue. Seketika gue udah punya pilihan. Inilah pilihan gue.

***

Sekarang gue harus sering-sering senyum saat ibu tanya kabar mawar. Karena memang semakin hari, komunikasi gue dengan mawar jauh semakin berkurang dan menjadi langka. Gue juga harus banyak-banyak senyum saat ibu minta gue jemput mawar kalau dia pulang malam. Karena gak mungkin juga gue menawarkan diri menjemput orang yang udah punya pacar. Kecuali kalau gue yang dimintai tolong. Pasti gue tolong.

Gue juga harus sering tersenyum saat beberapa kali ibu gue tanya "Kok mawar gak pernah main kesini lagi. Udah lupa ya sama mama"

Tapi gue bersyukur punya ibu seperti beliau. Dari beliau gue belajar, saudara itu bukan cuma orang yang mempunyai hubungan sedarah dengan kita.

Semua orang adalah saudara. Entah berbeda suku, agama, keyakinan, dll.

NB : beberapa minggu lalu entah kenapa ibu gue mau liat foto mawar yang baru. Dia minta liat di profile picture wa mawar. Pp wa mawar udah ganti ke fotonya bertiga dengan temannya. Gue saat itu gak kasih liat, karena pikir gue buat apa. Ibu sedikit memaksa, gue pun mengalah.

"Gemukan ya mawar sekarang," kata ibu saat liat fotonya. "Pasti sekarang dia merasa bebas. Gak tertekan lagi. Gak ada beban lagi. Sekarang kapan aja dia bisa pasang foto sama cowoknya. Tanpa ada rasa takut siapa yang bakal tahu. Kalau dulu dia pilih-pilih siapa orang yg boleh tahu hubungan kalian, sekarang dia bisa tunjukkin ke siapapun, ini lho cowok aku."

"Waktu sama kamu dia kurus. Wajahnya juga kayak orang yang lagi menahan beban. Gak plong. Sekarang beda. Dia gemukan. Ceria. Sekarang dia udah bahagia. Mama seneng liatnya. Mama seneng liat mawar bahagia. Berarti doa mama terkabul. Allah kasih dia kebahagiaan." Kata ibu lagi.

Gue gak menyangka kalau selama ini ibu selalu doain mawar. Saat itu gue seperti terlecut. Gue menambah 1 pelajaran lagi dari ibu. Yaitu tentang keikhlasan.

Posted on Minggu, Oktober 25, 2015

Cerita Kepada Alam : 2

By Afaa Alghifaary di Minggu, Oktober 25, 2015

Hai alam.

Kita akan bertemu lagi.
Tidak lama lagi aku akan mengunjungimu kembali.

Seperti janjiku, alam.

Aku akan menceritakan tentang duniaku.
Duniaku yang dulu.
Betapa indahnya duniaku.
Betapa sejuknya bila aku sedang bersamanya.
Betapa sempurnanya dia.

Apa kau juga pernah mempunyai dunia, alam?

Atau kau salah satu bagian dari duniamu sendiri?

Aku pernah berharap aku bisa bersama duniaku.
Selamanya.
Kita bersama sampai pemilik alam semesta memisahkan kita.

Tapi ternyata tidak mungkin, alam.

Pemilik semesta sudah memisahkan kita.
Bukan, bukan salah-Nya.
Bukan salah duniaku.
Bukan juga salahku.

Dunia yang mengharuskan kita seperti ini.
Duniaku dan dunianya berbeda.
Duniaku dan dunianya tak sama.
Duniaku dan dunianya tak bisa dipaksakan untuk bersama.

Sekarang duniaku sudah bahagia, alam.

Dia telah menemukan dunia yang baru.
Dia telah menemukan dunia yang tidak berbeda.
Dia telah menemukan dunia yang tak perlu memaksakan untuk bisa bersama.

Kenapa alam? Kau bertanya mengapa aku tidak mencari dunia yang baru?

Belum, alam.
Aku masih ingin menikmati keelokanmu.
Aku tidak berharap.
Aku tidak meratap.
Kubiarkan semua seperti angin.
Seperti angin yang membawaku kembali menemuimu.

Seperti janjiku, alam.

Saat aku berada di puncakmu nanti, aku akan berdoa.
Aku akan memohon.
Semoga duniaku selalu bahagia.
Bersama dunianya yang baru.

*Jakarta, 25 Oktober 2015

Posted on Sabtu, Oktober 10, 2015

Sebuah Cerita Kepada Alam

By Afaa Alghifaary di Sabtu, Oktober 10, 2015

Hai alam. Apa kabar?

Sudah lama ya kita gak bertemu.
Terakhir kali entah kapan.
Aku tidak tahu persis.
Saat itu perutku bahkan belum sebuncit sekarang.

Hai alam.

Aku sadar aku bukan orang yang berfisik kuat.
Disaat yang lain melaju dengan lancar, aku harus sering berhenti untuk beristirahat.
Makanya aku jarang mengunjungimu.
Namun temanku bilang, fisik bukan sebuah halangan.
Aku pun sudah mencobanya.
Dulu.
Dulu sekali.
Walau lambat, tapi aku bisa.

Hai alam, apa kau bertanya mengapa aku tidak pernah mengunjungimu lagi?

Selama beberapa masa ini, aku mempunyai dunia.
Duniaku yang indah.
Duniaku memberikanku keceriaan.
Kebahagiaan.
Aku selalu bersama duniaku.
Waktuku bahkan tidak cukup untuk sekedar mengunjungimu.

Lalu kenapa sekarang aku datang kepadamu?

Ya, alam.
Duniaku sekarang sudah pergi.
Hilang.
Dan mungkin tak akan pernah kembali.
Duniaku telah bertemu dunianya yang lain.
Meninggalkan aku disini.

Sungguh naif bukan?

Memang begitu, wahai alam.
Disaat kesepian melanda, hanya kau yang dapat menghiburku.
Hanya kau yang bisa menyemangatiku.
Hanya kau yang bisa membuatku sesaat melupakan duniaku.

Hai alam.

Aku tidak tahu apakah duniaku akan kembali.
Aku tidak tahu apakah aku akan menemukan dunia yang lain.
Tapi saat ini aku hanya ingin bercengkrama denganmu.
Bercerita.
Dan menikmati setiap jengkal keelokan rupamu.

Memang, alam.

Kita memang sudah lama tidak bertemu.
Kita memang sudah lama tidak berjumpa.
Tapi aku tidak pernah lupa cara menikmati keindahanmu.

Ohya, sepertinya aku akan sering mengunjungimu, alam.

Ada banyak hal yang belum aku ceritakan kepadamu.
Ada banyak hal yang mungkin ingin kau ketahui.
Nanti saat aku mengunjungimu lagi, aku akan menceritakannya kepadamu.

Wahai alam.

Aku memang belum pernah menaiki puncakmu.
Bahkan seperempat dari puncak itupun belum.
Tapi aku bertekad, suatu saat nanti aku akan menapak puncakmu.
Disana aku akan berdoa.
Memohon.

Untuk kebahagiaan duniaku.
Dan dunianya yang baru.

*Tidung Kecil, 10 Oktober 2015.






Posted on Sabtu, September 19, 2015

Sebuah Perjalanan ke Tempat Seorang Kawan

By Afaa Alghifaary di Sabtu, September 19, 2015

Kemarin gue ke tempat temen gue di daerah Matoa, Depok. Sebuah gubuk yang ada di tengah kebun. Tanpa listrik.

****

Hari Rabu tiba-tiba gue kepikiran buat melanglang buana kemana tau. Kebetulan waktu itu suasana hati gue lagi gak bagus. Sempet kepikiran mau ke Jogja sendirian, tapi niat itu gue urungkan karena keadaan kantong yang gak memungkinkan.

Gue pun teringat seorang teman dari zaman kuliah. Rizki, yang biasa dipanggil Penjo. Setau gue, dia punya ternak ayam di daerah Matoa. Dia tinggal di gubuk yang dibangun di depan kandangnya. Tapi gubuk itu gak ada listriknya.

Yaudah, dengan maksud mencari ketenangan dan kegiatan, gue langsung berniat menuju kesana. Malam itu juga gue bbm Penjo, menanyakan apakah hari Jumat dia ada disana. Untungnya dia Jumat ada disana. Gak balik ke rumahnya di daerah Mampang.

Kamis gue langsung mengurus cuti, dan Jumat cabutlah gue kesana setelah sholat Jumat. Sempet ke tempat teman lama dulu. Sambil cerita-cerita sebentar, lalu gue melanjutkan perjalanan.

Perjalanan itu gak susah. Karena sebelumnya gue pernah sekali kesana bareng temen-temen kampus. Tapi waktu itu kita gak menginap.

Ba'da Ashar gue baru sampai sana. Suasana masih asri. Sejuk. Sesaat gue bisa ngelupain perasaan gue yang bener-bener lagi gak enak. Bahkan 2 hari berturut-turut kerjaan gue sampai gak keurus.



Gue sholat Ashar, lalu istirahat sebentar. Setelah itu gue mengganti pakaian lalu membantu Penjo.

Yap, tujuan gue kesini memang mau membantu dia mengurus ayam dan kebunnya. Saat suasana hati lagi gak beres, gue lebih suka ke tempat yang sepi. Sendiri. Sambil nenangin hati dan pikiran.

Tugas pertama gue gak berat. Cuma menyiram pohon pisang yang ada di sekitar gubuknya. Sayangnya sumber air disana sedang kering. Tanah-tanah pada pecah. Akhirnya gue harus ambil air buat menyiram pohon dari kali yang ada di dekat situ.

Disana bahkan gue masih bisa nemuin ular

Maghrib kerjaan itu selesai. Gue istrahat, bersih-bersih badan lalu sholat maghrib.

Kita mengobrol-ngobrol sebentar soal ternak ayamnya dia. Tentang kebunya dll. Gak terasa Isya tiba. Kita lalu sholat Isya berjamaah.

Selesai sholat, kita makan. Jangan harap makan makanan ala barat ada disitu. Kita makan nasi dengan lauk ikan asin kering dan abon. Buat orang lain mungkin itu sesuatu yang gak enak. Tapi buat gue, lauk kayak gitu enak banget. Apalagi dimakan di tempat tenang kayak gini.


(Kekeringan)

Suara jangkrik dan kodok mulai bersahutan. Padahal jam baru menunjukkan pukul 8 malam. Penjo lalu bergegas tidur. Tanpa listrik disini, gak banyak yang bisa kita lakuin selain tidur. Gue yang biasa tidur jam 11 keatas, otomatis mata masih segar. Akhirnya gue bbman sama temen gue sambil curhat-curhat kecil.

Tiba-tiba jam 12, alarm dari hape Penjo berbunyi. Tandanya dia harus ke atas. Ke warteg atau tempat pecel lele untuk meminta nasi bekas yang gak dimakan. Buat apa? Buat pakan ayam-ayamnya besok pagi.

Jam 1 Penjo baru jalan. Karena mulai mengantuk, gue gak ikut keatas. Tapi itu pilihan yang salah. Di dalam tempat yang gak ada listrik. Gelap gulita. Ditengah kebun dengan pohon-pohon besarnya. Seendirian pula. Rasanya gue lagi dipelototin sama demit-demit di sekitar situ. Demi menjaga gengsi, gue sok berani. Gue ambil hape lalu buka-buka situs buat mengusir rasa takut.

Jam 2 Penjo baru balik ke gubuk. Setelah itu gue pun tidur.

****

Hari kedua. Sabtu jam setengah 7 pagi.

Gue udah bersiap-siap buat berkebun lagi. Tugas pertama gue kayak kemarin, menyiram pohon yang ada di situ.

Kelar menyiram pohon, gue lalu membantu dia membuat saluran irigasi. Mumpung belum hujan, saluran irigasi harus jadi supaya kalau nanti hujan turun, pengairan disana berjalan baik.

Tapi sayang, baru setengah jalan, gue mesti balik ke Jakarta karena ada suatu hal yang mendesak.

Setelah mandi, jam 11 gue pun cabut dari tempat Penjo buat balik ke Jakarta. Walau belum sepenuhnya tenang, tapi gue dapat pelajaran dari tempat ini. Pelajaran yang semoga bisa membuat gue jadi lebih baik lagi.

Thanks kawan atas ketersediaannya menampung gue selama ngerepotin disana.

TAMBAHAN : Thanks juga buat temen-temen kantor yang udah kuatir sama keadaan gue. Gue gak akan ngelupain itu. I love you.... ayushita. Muaacchh.. :'* :'*



Posted on Minggu, September 06, 2015

Empat Bulan Kemudian (Every Street Has a Story)

By Afaa Alghifaary di Minggu, September 06, 2015

Suatu malam tanggal 5 Mei 2015

Gue dan dia duduk berdua di sebuah rumah makan di daerah Jakarta Selatan. Awalnya kita ngobrol tentang kerjaan, tentang temannya, dan lain-lain. Sampai saat bahan obrolan sudah habis, tiba-tiba dia nanya ke gue "Kita kapan putus?"

Gue diam. Memang hubungan kita kayaknya udah gak bisa dipertahanin lagi. Gue dan dia beda iman. Itu yang memberatkan hubungan kita. Dan selama beberapa minggu terakhir gue ngerasa kalau dia udah beda.

"Kapan kamu mau putusin aku?" tanya dia lagi. "Terserah kamu. Aku gak mau putusin kamu. Perjuangan aku udah berat buat dapetin kamu. Jadi aku gak mau putusin orang yang udah aku perjuangin mati-matian. Tapi kalau kamu minta putus, aku terima. Aku gak mau paksa." kata gue sambil tersenyum. Senyum yang pastinya gue paksakan.

Dia diem. Gue juga diem. Selama beberapa menit kita gak ada omongan. Lalu tiba-tiba dia bilang "Kita putus sekarang".

Agak kaget karena permintaan yang mendadak itu, gue gak langsung merespon permintaan dia. "Kita putus sekarang ya?" tanya dia lagi.

"Iya." jawab gue singkat.

"Kok iya doang?"

"Aku gak mau maksa," jawab gue berusaha tersenyum.

"Kamu tau kan alasan aku minta putus apa? Kamu paham kan?"

"Iya. Yaudah yuk kita pulang." Kata gue. Gue tau, iman yang menbuat dia terpaksa bilang putus. Dia gak mau masuk agama gue, gue juga gak mau masuk ke agama dia. Mentok. Mungkin berpisah memang jalan terbaik satu-satunya.

Gue lalu membayar ke kasir dan kita lalu bergegas pulang. 

Di parkiran, saat itu dia gak bawa jaket. Gue minta dia buat pake jaket gue biar dia gak kedinginan. Tapi dia menolak. Gue lalu bilang, "Selama ini aku gak pernah minta kamu buat begini, begitu. Tapi sekali ini aja. Terakhir kali. Tolong dengerin kata aku. Yaa.."

Dia lalu memakai jaket gue. Motor pun melaju ke rumahnya.

***

Di jalan, kepalanya bersandar ke bahu gue yang saat itu cuma pakai kemeja. Gak lama gue ngerasain kemeja gue terasa basah. Tadinya gue pikir dia ketiduran sambil ngiler. Tapi pas gue lihat dari spion, ternyata dia nangis. Gue liat pipinya yang masih basah oleh air mata.

"Kamu nangis?" tanya gue. Bodoh sih pertanyaan gue. Ya kali dia lagi salto. Jelas-jelas pipinya basah gitu.

"Aku gak tau apa aku bisa tanpa kamu. Selama ini aku kemana-mana ama kamu. Pulang kerja ama kamu. Tapi mulai besok udah gak lagi" jawab dia.

"Udah. Jangan nangis. Nanti kamu juga dapet orang yang lebih baik dari aku. Yang jauh lebih sayang dari aku. Orang yang selalu nganterin kamu pulang pergi. Orang yang putih. Gak gendut kayak aku. Jadi kamu gak perlu repot-repot lagi nyuruh dia diet". Gue berusaha menenangkan dia.

"Tapi aku maunya ama kamu. Sayang ya, perbedaan kita gak bisa disatuin." Kata dia lagi.

Gak lama motor gue pun sampai di depan gang rumahnya. Gak lama dia turun. Gue lihat air matanya masih turun ke pipi.

"Udah jangan nangis lagi. Senyum dong" kata gue sambil mengusap pipinya.

Bukannya tenang, dia malah makin tambah nangis. Sesenggukan.

Akhirnya gue minta dia jalan lagi naik motor. Minimal sampai dia bisa berhenti nangis. Kita pun muter-muter gak karuan karena dia gak mau kita berhenti atau sekedar nyemil di suatu tempat.

"Kamu curang. Kamu gak nangis. Cuma aku yang nangis. Curang". Gue denger dia bilang gitu selama perjalanan.

"Kamu curang. Kamu udah gak sayang kan? Kalau kamu masih sayang, pasti kamu nangis juga".

Gue lalu menjawab singkat, "Kalau aku udah gak sayang, aku pasti udah putusin kamu dari dulu-dulu. Tapi gak kan?"

Setelah muter-muter beberapa menit dan dirasa dia udah mulai tenang, gue pun mengantar dia pulang. Di depan gangnya, gue bilang ke dia. "Jangan sedih lagi. Aku masih sayang sama kamu kok. Suatu saat nanti, kamu pasti dapat orang yg lebih baik dari aku. Yang seiman. Yang bisa bikin kamu bahagia. Gak kayak aku yang cuma bisa ngeselin doang".

"Terus kamu gimana?" tanya dia.

"Aku udah bahagia saat liat kamu nanti bahagia". Jawab gue. "Udah, jangan nangis lagi ya. Senyum dong".

Dia senyum. Senyum yang pastinya juga dipaksakan. Gue lalu memeluk dia buat terakhir kalinya. Erat. Saat itu gue bener-bener ngerasa gak mau lepasin pelukan gue dari dia.

Gue lepas pelukan dia. Dia cium tangan gue, lalu bilang "Kamu hati-hati ya. Jangan lupa diet walau udah gak ama aku. Jangan nakal juga". Gue ngangguk. Dia lalu berjalan masuk ke gang rumahnya. Gue menunggu sampai bayangannya hilang di belokan. Gue menghela napas. Menstarter motor gue lalu pulang.

Di jalan, tanpa terasa air mata gue menetes dengan sendirinya.

***

Awal kita putus, beberapa kali gue masih jemput dia. Walau gak setiap hari. Bulan puasa gue masih jalan sama dia. Waktu itu gue nemenin dia nonton Jurassic World. Sebenernya gue udah nonton film itu, tapi karena nontonnya sama dia, gue rela nonton buat kedua kalinya.

Malam Takbiran.

Gue whatsapp dia. Gue mau anterin keripik bawang permintaan dia. Waktu itu dia ngasih gue kue keju, dan dia minta keripik bawang buatan sendiri. Dia gak mau kalau beli dari toko.

Saat itu entah kenapa dia jadi beda lagi. Selalu sibuk saat gue whatsapp. Gue telepon juga gak diangkat. Akhirnya malam lebaran kedua, gue whatsapp lagi. Gue cuma mau kasih keripik bawang doang. Takut keburu gak enak karena udah kelamaan.

Malam itu jam 8 malam dia bilang dia ada dirumah. Gue meluncur kesana. Cuma kasih keripik bawang dan nastar, lalu pulang. 

***

Tanggal 21 Juli 2015.

Gue whatsapp dia ngajakin jalan. Kebetulan hari itu masih libur kerja dan udah jarang tamu yang datang ke rumah. Sebelumnya, tanggal 19 dan 20 gue juga ajakin dia jalan. Tapi dia selalu bilang gak bisa karena lagi diluar.

Hari ini juga dia bilang gak bisa. Gue balas, "Iya kalau gak bisa gak apa-apa." 

Setengah jam kemudian, dia tiba-tiba whatsapp gue. "Sebenernya aku gak kemana-mana tau hari ini."

"Oohh. Yaudah gak apa-apa kok." balas gue.

"Emm.. kita gak bisa kayak gini terus. Aku mau buka hati buat orang lain. Makanya dari kemarin aku nolak ajakan jalan kamu"

Bagai disambar petir di siang bolong pas gue baca whatsapp dari dia. Gue lalu balas, "Iya gak apa-apa. Selamat ya. Semoga langgeng sama cowok yang udah kamu buka hatinya."

Cuma dibaca. Tapi gak lama dia whatsapp lagi "Tapi aku masih boleh kerumah kan? Masih boleh ketemu Ibu? Masih boleh main sama Chelomita? Terus kita masih bisa ketemu kan?" 

"Iya. Tapi ajak gebetan kamu ya." jawab gue singkat.

***

5 September 2015

Tepat sudah 4 bulan gue berpisah. Dan 1,5 bulan semenjak dia mulai mencoba membuka hati buat cowok lain. Tapi hati gue masih belum kemana-mana.

2 minggu lalu, gue ke tempat teman gue di daerah Kemang. Perjalanan dengan rute sama yang gue tempuh waktu dulu jemput dia pulang kerja. Dari rumah, ke jalan panjang. Flyover Simprug belok kiri. Terusss.. belok kiri, kanan tembus di Barito. Perempatan belok kiri ketemu lampu merah Melawai. Sampai disitu biasanya gue whatsapp dia, "Aku udah mau sampai". Kalau dia udah selesai, dia pasti balas "Iya tunggu." Gue lalu akan nunggu di bawah pohon di dekat tukang indomie.

Kalau belum, dia akan balas "Masuk aja dulu". Gue akan memarkir motor dan menunggu dia dalam kantornya.

Hari itu. Semua kenangan itu muncul begitu aja. Gue melewati jalan yang sama. Lalu muncul kenangan yang sama.

Gue melewati kantor dia. Gue menengok ke arah sana sebentar. Pedih memang. Dulu hampir setiap sore gue kesitu. Jemput dia. Kegiatan rutin yang udah gue lakuin hampir 5 tahun. Sejak awal dia masuk kerja.

Gue bukannya gak bergerak maju. Selama 2 bulan ini gue mencoba membuka hati. Gue jalan sama temen gue. Bukan cuma 1 orang, tapi tiga. Tapi saat jalan, gue selalu keingetan dia.

Bukan sekali ini gue putus sama dia. Mungkin 2 atau 3 kali. Tapi keesokan harinya kita balikkan. Namun beda sama yang sekarang.

Sudah beberapa bulan ini kita komunikasi seadanya. Sekata dua kata. Itupun gak setiap minggu kita komunikasi. Gue juga gak mau ganggu dia yang lagi berusaha membuka hati buat orang lain.

Minggu lalu, gue pulang dari Depok. Gue lewat Pasar Minggu. Sampai di Pomad, gue belok kiri. Melewati jalan yang suka gue lalui juga kalau gue habis dari daerah Pasar Minggu dan sekitarnya dengan dia. Gue lewati jalan itu. Jalan yang masih penuh kenangan. Dia biasanya memeluk gue dengan erat. Di depan gangnya, gue berhenti. Saat gue mau berbalik arah buat pulang, dia pasti bilang "Hati-hati ya. Kalau udah sampai kabarin".

Jalan memang selalu punya cerita. Kadang cerita senang, kadang cerita sedih. Sudah empat bulan berlalu, tapi cerita itu masih tetap ada disini.


*Kebon Jeruk, 6 September 2015. Ditulis sambil dengerin emak gue nonton Tukang Bubur Naik Haji.

Posted on Kamis, Juni 18, 2015

Hal - Hal Yang Masih Diingat Saat Puasa Masa Kecil

By Afaa Alghifaary di Kamis, Juni 18, 2015


Marhaban Ya Ramadhan.

Hari ini hari pertama puasa di tahun 2015. Hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Muslim di seluruh dunia. Terutama buat anak-anak. Kenapa anak-anak? Buat anak-anak bulan Ramadhan lebih dari sekedar nahan haus, nahan lapar, dan nahan kentut.

Dulu waktu gue kecil, bulan puasa selalu gue dan teman-teman tunggu. Kenapa? Karena di bulan itu, kita tetap dapet uang jajan, tapi gak dibeliin makanan. Sampai-sampai pas bulan puasa, gue bisa beli pistol-pistolan, mobil-mobilan, robot patlabor, mainan ksatria baja hitam, rumah di pondok indah, sampai beberapa kapal pesiar yang gue parkir di kolam lele deket rumah.

Waktu kecil juga banyak hal-hal selama bulan puasa yang gak bisa gue lupain sampai sekarang. Beda tahun, tentu beda generasi. Generasi sekarang cuma bisa gerak-gerakin tangan di layar tab. Gak ada permainan yang bikin badan kita bergerak. Gak sehat. Beda sama generasi gue dulu. Kita main lari-larian, kejar-kejaran, dan Alhamdulillah gue pun menjadi.... bengek. Sampai SMA.

Buat mengenang masa-masa kecil dulu, gue mau ngebahas hal apa aja yang identik sama bulan Ramadhan pada waktu itu. Cekidut:

BUKU AGENDA PUASA

 
Siapa anak sekolah yang gak tau buku agenda puasa? Buku setebal lebih kurang 30an halaman yang isinya laporan ibadah apa yang sudah kita lakukan di bulan puasa. Bagian yang pasti paling diingat sama gue yaitu, bagian isi ceramah dan tandatangan ustadz.

Iya, di kolom bagian bawah, biasanya terdapat baris-baris kosong buat kita isi ceramah di bulan puasa. Waktu kelas 5 SD, gue selalu bawa buku itu ke mesjid tiap shalat tarawih. Selesai tarawih gue bakal ngantri sama anak-anak lain buat minta tandatangan Pak Ustadz yang memimpin shalat. Untung ustadznya baik. Coba kalo gak? Mungkin gue disuruh pake pita dulu, bawa balon 3 biji, atau bikin ceker ayam metal kayak ospek di sekolah-sekolah.

Kita semua bakal bikin barisan, menunggu giliran dapat tandatangan. Gak beda jauh memang sama minta tandatangan Raffi Ahmad. Lalu tahun depannya, gue gak pernah bawa buku itu ke mesjid tiap shalat tarawih. Gue lebih memilih menitipkan buku gue di adik gue. Biar dia aja yang antri minta tandatangan.

PERANG SARUNG


Kayaknya kalo yang ini sampai sekarang sebagian anak-anak masih main. Perang selepetan sarung emang gak ada matinya. Permainnya simpel. Sarung kita gulung-gulung jadi kecil. Ujungnya dibuat agak runcing, biar kalo kena lawan terasa perih. Pegang ujung yang tumpul pakai tangan kanan. Sementara ujung runcing pakai tangan kiri. Tarik dengan cepat tangan kiri, lalu lepaskan. Cetar!!! Makin kuat tarikannya, makin keras pula selepetannya.

Permainan perang sarung biasanya gue lakukin selepas shalat Isya berjamaah. Ketika orang-orang pada shalat tarawih, gue asik main perang sarung di halaman samping masjid. Saat shalat selesai dan semua orang pulang, biasanya bokap gue yang liat gw lagi perang sarung langsung nyamperin sambil ngejewer dan narik gue pulang.

PETASAN





Ini juga sampai sekarang masih banyak yang mainin. Siapa sih yang gak kenal petasan? Petasan ini salah satu mainan orang kaya. Gimana gak kaya, kalo kita ngeluarin uang Cuma buat dibakar-bakar doang?

Sebagai anak laki-laki (walaupun belum 100% yakin), gue malu kalo gak main petasan, sementara temen-temen gue tiap hari selalu beli petasan di depan sekolah dan memainkannya pas sore. Saat itu petasan yang lagi jadi trending topic yaitu petasan cabe rawit. Bentuknya silinder kecil, warna merah dan ada sumbu. Mirip dinamit versi mini. Setelah sumbu dibakar, harus buru-buru dilempar. Bunyinya nyaring. Walaupun masih kalah nyaring sama suara almarhumah Mpok Nori.
Karena gue pemula dalam dunia perpetasan, gue gak langsung berani main petasan cabe rawit. Gue ngeri kalo petasan itu gak sempat gue lempar dan meledak di tangan gue. Gue takut. Takut jadi tambah gosong.

Petasan yang gue pilih yaitu : petasan ular. Serem? Iya kalo dari nama mah serem. Padahal aslinya enggak. Petasannya berwarna coklat keabu-abuan. Bentuknya bulet pipih kayak obat bodrex. Kalo petasan itu dibakar, efeknya si petasan yang tadinya bulat pipih bakal memanjang dan memanjang terus melingkar sampai abis. Gak ada ledakan sama sekali. Mungkin itu alasan kenapa dinamain petasan uler. Padahal kalo gue perhatiin lagi, bentuk panjangnya itu gak mirip uler. Menurut gue malah lebih mirip tokai kucing mengembang.

Setelah pensiun dari dunia petasan uler, gue mulai mencoba petasan cabe rawit. Gue pun masuk ke dunia pergaulan anak-anak masa itu. Gue gak kuper lagi. Setiap sore gue main petasan cabe rawit. Dari yang sekedar lempar-lemparan, sampai lama-lama ke hal lebih ekstrim lagi. Gue dan temen-temen gue pernah masukkin beberapa petasan cabe rawit ke buah kelapa yang dibelah dua, lalu ditutup dan ditaro di got, lalu ngumpet. Efeknya? Buah kelapa itu meledak, mencipratkan air-air got ke sekitarnya. Kita lalu ketawa-tawa.

Setelah bosan main petasan cabe rawit, gue naik level ke petasan kupu-kupu. Petasan yang kalo kita bakar, dia terbang random dan gak jarang malah ke arah kita lalu meledak. Hampir mirip sama jangwe. Bedanya jangwe terbangnya ke atas, kalau petasan kupu-kupu terbang datar horizontal.

RENTAL GIMBOT






Gak semua orang tau gimbot itu apa, apalagi anak jaman sekarang. Gimbot adalah cikal-bakal dari gameboy atau PSP. Permainannya Cuma ada tetris doang, tapi entah kenapa kita gak ada yang bosan.

Setiap bulan puasa, di depan SD gue pasti ada abang-abang yang ngerentalin gimbot. Kalo gak salah waktu itu tarifnya cepek 10 menit. Gimbotnya udah dimodif. Gak pakai baterai lagi, melainkan pakai aki. Lalu diiket tali, mungkin biar anak-anak gak kabur bawa gimbot itu.
Gimbot yang waktu itu paling populer adalah gimbot yang bisa ngomong. Kalo kalian salah masukkin balok tetris, gimbot itu akan bilang “BEGO LU!”. Pertama gue masih santai dikatain sama gimbot. Lama-lama pas gue beberapa kali salah masukkin balok tetris, si gimbot makin kurang ajar. Berkali-kali dia ngatain gue bego. Gue emosi, gue bales celaan dia, “ELU YANG BEGO!!!”. Si gimbot kayaknya ikutan emosi. Dia malah bilang, “ELU BEGO. MASUKKIN BALOK TETRIS AJA GAK BISA!”. Gue yang gak terima dibilang bego, ngebales omongan si gimbot,

“ELU YANG BEGO. LU PIKIR GAMPANG MAIN TETRIS HAH?”

“BEGO MAH BEGO AJE. TEMEN-TEMEN LU PADA BISA NOH MAIN!” bales si gimbot.

“WAAH KURANG AJAR NIH GIMBOT. GELUT YUK AMA GUE!!” gue makin emosi. Gue tarik iketan yang ada di gimbot itu. Gue lempar, gue cekik, gue injek,  gue smackdown gimbot tersebut. Gimbotnya pun tewas dengan sukses. Gue ketawa. Guelah pemenangnya. ‘Mampus lu gimbot nista!’ pikir gue dalam hati.

“BEGO LU. GIMBOT AJE LU LAWAN” tiba-tiba suara gimbot itu terdengar lagi. Gue lihat ke mayat gimbot tersebut. Udah hancur lebur. Gak mungkin dia masih idup. Gue menengok ke belakang. Gue baru sadar kalo selain kata “BEGO LU”, ternyata temen gue yang jadi pengisi suara gimbot itu.

Gimbotnya udah hancur, abang-abangnya ngeliatin gue dengan tampang pengen nelen gue hidup-hidup. Jadilah selama sebulan puasa uang jajan gw tabung demi gantiin gimbot yang gue smackdown sampai tewas.

UNDIAN TARIKAN
Gue gak tau ini sebenarnya judi atau gak. Waktu kecil gak ada pikiran-pikiran kayak gitu. Pas puasa, selain gimbot, abang-abang tarikan ini juga ramai nongol di depan SD gue. Permainannya simpel. Kita bayar cepek, kita pilih 1 tali dari ratusan bahkan mungkin ribuan tali yang diikat jadi satu kayak sapu lidi. Di bagian bawah ikatan tersebut, ada hadiah-hadiah yang membuat anak-anak tertarik. Ada mobil-mobilan, pistol-pistolan, robot, wisata 3 hari 4 malam di lombok, dan ada juga hadiah zonk kayak gasing plastik, kitiran, mainan parasut plastik, atau biji karet 2 biji.

Waktu itu gue liat temen gue main tarikan tersebut, dan dia berhasil dapat pistol-pistolan yang pelurunya bulet kecil kayakk telur cicak. Gue pun penasaran. Gue merasa tertantang buat dapetin mainan ksatria baja hitam yang daritadi ngeliatin gue terus. Pertama gue main sekali, gue tarik, gue dapet biji karet. Penasaran, gue main lagi. Gue tarik, gue dapat gasing plastik. Gue masih penasaran. Gue main lagi. Gue tarik lagi, lagi-lagi dapat biji karet. Gue merasa termotivasi sama keberhasilan temen gue. Gue main lagi, main lagi, sampai duit jajan gue yang waktu itu cuma seribu rupiah habis. Hasilnya? Gue jadi kolektor biji karet.

UNDIAN PISTOL BOWLING


Karena di bulan puasa gak boleh jual makanan, abang-abang jualan di depan SD pun makin kreatif. Apa aja bisa dijadiin hal yang menarik buat anak-anak. Contohnya mainan pistol bowling ini. Permainan ini sebenernya gak beda jauh sama undian tarikan tadi. Sama-sama menguji keberuntungan. Cuma medianya aja yang beda. Medianya memakai mainan pistol, yang ujung larasnya berdiameter lebar karna pelurunya adalah bola bowling mainan. Bola itu nanti ditembakkan ke pin bowling mainan yang jumlahnya 10. Jarak tembak diatur sama abangnya. Peserta Cuma dikasih kesempatan menembak sekali. Sekali tembak strike, bisa pilih hadiah mainan. Ada mobil-mobilan, barbie, pistol-pistolan dan lain-lain. Sekali tembak kena 6-9, hadiahnya bisa dipilih antara buku gambar, buku tulis, dll. Sekali tembak cuma kena 0-5 pin, lagi-lagi hadiahnya biji karet.

Beberapa temen gue udah mencoba, tapi hasilnya selalu gagal. Kalo gue berhasil, gue adalah orang pertama yang bisa dapat hadiah utama. Tau kan hadiah utama yang gue incar? Mobil-mobilan? Oohh bukan. Gue bukan incar mobil-mobilan. Gue incar boneka barbie. Rasanya udah gak sabar mau nyisirin rambutnya tiap sore.

Hari itupun tiba. Gue pun mencoba peruntungan gue. Selama ini persiapan gue adalah menonton kartun Lucky Luke berkali-kali sampe VCD emak gue rusak.

Kesempatan pertama gue lalui dengan gagal. Gue coba peruntungan kedua. Masih gagal. Belajar dari kesahalan undian tarikan yang gue coba dengan terburu-buru, kali ini gue gak mau terlalu nafsu. Setelah kesempatan kedua gagal, gue pun berhenti. Gue lalu pergi ke toko mainan gak jauh dari situ. Gue beli mainan pistol bowling tersebut.

Tiap sore gue latihan menembak pin bowling dengan jarak yang sama seperti permainan undian bowling. Tiap sore selama seminggu. Di hari terakhir latihan, tembakan gue selalu strike. Gue pun merasa kemampuan gue udah cukup untuk maju di permainan itu lagi.

Siang itu sepulang sekolah, anak-anak berkumpul di depan abang undian pin bowling. Mereka mau melihat keberhasilan gue dalam menembak pin. Gue bakal jadi orang pertama di SD gue yang berhasil dapat hadiah utama kalau berhasil menembak semua pin dalam satu kali tembakan.

Kesempatan pertama, gagal. Gue agak gugup karena ditonton oleh banyak orang. Kesempatan kedua, masih gagal. Gue mencoba bersikap tenang, jangan grogi. Gue harus mengeluarkan kemampuan terbaik gue. Gue lalu mengeluarkan uang seribuan dari kantong. Gue bilang ke abangnya, gue booking sepuluh kali lagi tembakan. Gue yakin kali ini gue bisa memaksimalkan sepuluh kesempatan tersebut dan meraih semua hadiah utama.

Gue minta ganti pistol dengan pistol yang selama ini gue pakai latihan. Abangnya setuju. Permainan pun dimulai kembali. Gue mulai membidik sasaran pin. Gue incar pin tengah yang ada di barisan depan. Perlahan-lahan tangan gue mulai menarik pelatuk pistol. Dan yaaaaakkkk..... kesempatan pertama dengan pistol baru gagal. Cuma 6 pin yang berhasil jatuh.

Temen-temen gue menghela nafas. Mereka masih menggantungkan harapan ke gue. Masih ada 9 kesempatan mendapatkan hadiah utama. Gue bidik lagi sasaran gue. Gue tarik pelatuknya. Dan............. hasilnya? Lagi-lagi gue jadi kolektor biji karet.

Itu beberapa hal yang masih gue inget saat puasa di masa kecil. Kenangan itu, kadang gue suka ingin balik lagi ke masa itu. Masa-masa dimana masih belum banyak hal yang kita pikirkan. 

Masa-masa yang penuh dengan canda tawa.

Oke, sekali lagi selamat menunaikan ibada puasa buat teman-teman yang menjalakannya. Jangan sampe bolong ya... Maksudnya, jangan sampe bolong tanpa ngajak-ngajak gue. Yuuuuukkk....