5 hari lalu hari ibu. Walau telat, gue mau sedikit bercerita tentang ibu gue. Setelah di postingan beberapa tahun lalu gue pernah cerita ibu gue yang luar biasa dalam mendidik gue saat gue kecil, kali ini gue mau cerita soal ibu yang mengajarkan apa arti sayang.
Beberapa tahun lalu. Waktu itu gue jujur ke ibu. Cewek yang sekarang udah jadi mantan, beda iman dengan gue.
Ada berbagai macam perasaan takut ketika gue cerita soal itu. Takut disuruh menjauh, takut disuruh melepas, dan yang lebih parah, takut kita dipaksa untuk putus.
Ibu gue diam. Gue tahu beliau pasti sedang menahan sedih. Atau bahkan kecewa. Sebelumnya ibu pernah beberapa kali ketemu si mantan, tapi ibu gak tahu apa agamanya. Karena mantan gue takut kita dipaksa pisah kalau keluarga gue, terutama ibu gue tau kita beda iman.
"Mawar baik ya," kata ibu gue mulai membuka omongan. Demi masa depannya yang lebih cerah, kita sebut aja mantan gue dengan sebutan mawar.
"Iya ma," kata gue singkat.
"Udah berapa lama kamu sama dia?"
"Udah lama ma," jawab gue tanpa merinci udah berapa lama hubungan kita.
Ibu mengusap air matanya yang turun sedikit. Dia tersenyum, lalu bilang "Kamu yakin?"
"Yakin Ma". Kata gue mantap.
"Kalau kamu yakin, terusin. Kalau gak, lebih baik kamu ikhlasin dia bahagia sama orang lain. Sebelum terlalu jauh dan kalian makin sayang." Kata beliau. "Tapi kalau kamu lanjut, inget kata mama. Jangan pernah kecewain dia," pesan ibu gue.
Gue tersenyum, ada rasa bangga di diri gue. Punya ibu yang mengerti dan bisa menghargai perbedaan kita dan mawar.
Seketika semua rasa takut itu lenyap begitu aja saat mendengar jawaban ibu.
***
Hari-hari berikutnya mawar sering main ke rumah gue. Tentu sambutan keluarga gue, terutama ibu gue sangat hangat ke dia. Padahal keluarga gue tau kalau mawar beda iman dengan kita. Tapi prinsip ibu gue, semua orang itu saudara. Kepada saudara kita harus bersikap baik.
Beberapa lama kemudian, bokap gue meninggal. Disaat itu mawar beberapa kali juga menjenguk ibu gue yang saat itu lagi down karena kehilangan suaminya. Saat tahlilan bokap, mawar juga beberapa kali datang dan akhirnya kenal sama keluarga besar gue. Waktu itu ibu gue seneng banget tiap mawar datang. Katanya mawar bisa bikin dia semangat. Mawar orang yang pendiem, kalem. Itu yang ibu gue suka.
***
Sayangnya, beberapa bulan lalu kami harus putus. Gue merasa ada yang hilang saat itu. Gak ada mawar lagi di kehidupan gue. Gak ada mawar lagi di hari-hari gue.
Ibu yang merasa heran karena mawar gak pernah main lagi ke rumah, bertanya sama gue.
Gue pun jujur. Gue jawab kalau gue udah gak sama mawar lagi. Saat putus gue memang sempat down. Tapi annehnya gue gak sampai menangis.
Namun saat gue cerita ke ibu kalau gue udah putus sama mawar, gue malah melihat ibu terdiam. Gak lama air matanya keluar. Perlahan. Air mata yang sama kayak saat dia kehilangan bokap gue.
"Dia baik ya," kata ibu mengulang kata-kata yang pernah dia ucap waktu gue jujur soal keyakinan mawar. "Kenapa kalian putus?"
"Mama pasti tau apa alasannya," jawab gue.
Nyokap memandang gue. Masih menahan tangis, dia bilang "Mama sayang sama mawar". Gue tersenyum saat mendengar omongan ibu. Kecut. Beliau lalu meneruskan ucapannya. "Tapi sayang ya, dia beda sama kita."
Beliau terdiam sebentar. "Kenapa gak tunggu 1 atau 2 tahun lagi sambil cari titik temu?"
Gue juga diam sebentar. "Gak bisa Ma. Dia minta putus. Aku gak bisa nahan dia. Aku juga sayang dia. Tapi aku harus relain dia cari yang lain. Bahagia sama yang lain yang seiman. Kayak yang dulu mama bilang."
"Memang kamu udah gak yakin?" tanya nyokap lagi.
"Aku masih yakin. Tapi rasa yakin aku bakalan percuma, kalau di dianya udah mulai gak yakin sama hubungan kita," jawab gue.
Ibu mengusap pipinya yang mulai mengering. Lalu beliau bilang, "Salam ya buat mawar. Bilang dia, apapun yang terjadi, dia udah mama anggap kayak anak sendiri. Jangan anggap keluarga kita orang lain.
Ibu tersenyum. Senyum yang mungkin saat itu terpaksa.
***
Jumat itu ibu gue senang. Ceria. Gue bilang ke ibu kalau besok mawar mau main ke rumah. Dia mau ketemu ibu gue. Kangen katanya. Sekalian mau perpisahan. Mungkin setelah ini gak akan main ke rumah lagi.
Rencananya mawar mau datang jam 12 siang. Setelah dzuhur.
Sabtunya, tiba-tiba jam 10 pagi handphone ibu bunyi. Temannya mengabari kalau salah satu teman ibu meninggal dunia. Teman yang menelpon itu mengajak ibu buat melayat bareng. Tapi ibu bilang dia bisa pergi melayat sekitar jam 2 siang. Karena mau ada tamu datang ke rumah. Untungnya, temannya menyanggupi.
***
Jam setengah 2.
Mawar belum datang juga. Ternyata sebelum ke rumah, dia lebih dulj menjenguk teman kantornya yang kena DBD di RSPP. Mawar bilang ke gue, kalau dia sampai ke rumah sekitar jam 3. Gue lalu mengabari ibu. Ibu langsung menelpon temannya, minta waktu melayat diundur sampai jam 4. Biar dia bisa ketemu mawar.
Jam 4 kurang 15. Mawar belum sampai karena jalanan macet. Akhirnya ibu jalan melayat temannya, karena gak enak sudah menunda 2 kali. Sebelum jalan, ibu titip salam buat mawar. Jaga diri baik-baik, jangan lupain ibu sama keluarga disini.
Jam setengah 5 mawar sampai dirumah. Gue lalu menyampaikan salam ibu.
***
Itu terakhir kali mawar main ke rumah. Setelah itu, dia gak pernah main lagi. Setelah itu pula, ibu sering bertanya kabar mawar. Ibu juga sering titip salam buat mawar.
4 bulan setelah kita putus, abang gue menikah. Ibu menyuruh gue mengundang mawar. Saat resepsi, ibu menunggu mawar sampai malam. Dia selalu minta gue buat tanya apakah mawar datang atau enggak? Ibu pengen banget ketemu dia. Tapi gue gak mau, karena gue gak enak nanya kayak gitu. Apalagi yang gue dengar, saat itu mawar baru jadian sama teman ibadahnya.
Jam 9 malam mawar whatsapp gue, minta maaf kalau dia gak bisa datang. Ibu tersenyum. Dia bilang gak apa-apa. Pasti mawar lagi sibuk. Titip salam ibu buat dia.
***
3 hari kemudian mawar minta gue jemput ke kantornya. Dia mau titip kado buat abang gue. Ibu gue senang waktu gue bilang mau ketemu mawar. Yang ada di pikirannya, mawar sekalian main ke rumah. Tapi ternyata enggak.
Dan malam itu, gue juga dengar dari mulut mawar sendiri, kalau dia memang udah punya cowok baru.
***
Seminggu kemudian jadi hari yang paling "hancur" buat gue. Saat gue lagi whatsapp-an sama mawar, dia ganti profil picture berdua sama cowoknya. Waktu itu gue bener-bener ngerasa down banget. Jauh dan amat sangat jauh lebih down dibanding saat kita putus. Waktu putus gue bahkan gak menangis. Ibu gue malah yang menangis. Tapi kali ini gue merasa dunia gue kayak runtuh.
Gue langsung berubah drastis. Gue yang tadinya usil, jadi pendiam. Gue yang tadinya ceria, langsung pemurung. Gue bahkan sempet gak nafsu makan, sampai berat badan gue turun 5 kilo. Dan gue juga sempat minta cuti kerja, cuma sekedar buat tenangin hati gue.
Disaat itu, ibu ngelihat ada yang aneh di diri gue. Dia lalu bertanya ke gue. Gue jawab dengan jujur. Dia tersenyum, mendekati gue lalu bertanya, "Kamu sayang sama dia?"
Gue diem.
"Kalau kamu sayang sama dia, kamu tahu kan harus ikhlasin dia," kata ibu lagi. "Mama juga sayang kok sama dia. Sayang banget. Mama yakin rasa sayang mama ke mawar lebih besar dari rasa sayang kamu ke dia. Tapi kita bisa apa? Kita gak bisa berbuat apa-apa selain ngedoain mawar bahagia sama pacar barunya. Mawar gak mau masuk agama kita kan? Kamu juga gak mungkin masuk ke agama dia. Kalian putus karena iman, dan sekarang mawar punya pacar yang seiman. Salah dia apa?"
"Buka block whatsapp kamu." Ibu gue tau kalau saat itu gue block mawar karena gue belum bisa liat pp dia sama cowok barunya. "Minta maaf ke dia. Salam juga dari mama. Bilang mawar, jaga diri baik-baik. Jangan mau kalau diajak macam-macam sama cowok," kata ibu lagi. Di akhir salamnya, ibu selalu bilang, "Kalau mau main ke rumah, main aja. Rumah ini selalu terbuka buat mawar. Dan kalau ada perlu apa-apa kabarin aja. Kita selalu ada buat bantu mawar".
***
2 hari yang lalu adalah hari Natal. Natal kali ini berbeda sama Natal sebelumnya. Di tahun-tahun sebelumnya, tiap natal pasti ibu bilang "Kamu gak main ke rumah mawar? Sekedar ngucapin sambil bawa kue kesana?"
Biasanya gue jawab dengan senyum doang. Kalau udah gitu ibu pasti keluarin jurus ceramahnya. Dia bilang gue harus baik juga ke keluarga mawar. Mawar udah baik banget ke keluarga kita. Bla bla bla...
Gue paling cuma mesem dalam hati. Karena ibu gak tau gimana. Gue bahkan gak dikenalin ke keluarganya, karena mawar yakin kalau keluarganya tahu dia pacaran dengan orang yang beda iman, pasti dia dipaksa putus. Makanya backsteeet dari keluarganya adalah salah satu cara mawar buat pertahanin hubungan kita selama bertahun-tahun.
Tapi natal tahun ini beda. Ibu gak menyuruh gue lagi buat datang ke rumah mawar. Sepertinya ibu tahu dengan kondisi sekarang, amat sangat gak mungkin gue untuk main kesana. Ibu cuma minta tanyain gimana kabar mawar. Titip salam, dan juga ucapan selamat natal buatnya.
***
Ya, itulah ibu gue. Dia orang yang sangat bisa menghargai perbedaan. Beliau mempunya prinsip. Prinsip yang sampai sekarang mungkin belum bisa gue terapin : semua orang adalah saudara.
Beliau juga sayang banget sama mawar.
Gue inget waktu beliau habis operasi mata. Saat itu beliau harus dibius total. Ketika siuman, hal yang pertama dia tanya yaitu : "mawar gak kesini?"
Waktu itu padahal abang dan kakak gue belum datang. Tapi yang pertama ditanya adalah mawar.
Dia sering bilang kalau dia udah sayang sama mawar. Tapi kalau nikah nanti, walau menghargai, dia gak setuju kalau gue ikut mawar. Dia mau mawar yang ikut gue. Untuk hal lain-lain kayak adat, lokasi nikah, dll dia akan mengalah. Tapi tidak soal keyakinan.
***
Hampir jam 7 malam. Gue baru sampai rumah sehabis pulang kerja. Gue duduk di depan tivi. Waktu itu gue belum terlalu semangat. Walau nafsu makan mulai berangsur normal.
Ibu menghampiri gue. Dia duduk disebelah gue.
"Kamu masih kepikiran mawar?" tanya ibu.
Gue cuma menunduk.
"Kamu masih sayang sama mawar?" Gue diam. Gak menjawab. Ibu tahu kalau gue diam berarti jawabannya iya.
"Mama juga sayang kok sama mawar. Sayang banget. Tapi mama gak setuju kalau kamu ikut mawar. Dianya gimana? Mau ikut kita?"
Gue menggeleng.
"Mama gak mau maksa". Tiba-tiba ibu gue bilang begitu. "Mama memang gak setuju, tapi kalau menurut kamu itu yang terbaik, mama gak mau maksa. Lakukan yang terbaik menurut kamu. Kamu udah besar," kata ibu berusaha tersenyum.
Gue diam lagi. Ada perasaan campur aduk di hati gue. Antara yakin dan galau.
"Sholat Isya dulu. Udah adzan."
Ibu lalu bergegas mengambil wudhu.
***
Malamnya gue sengaja memasang alarm jam 3 pagi. Gue mau shalat tahajjud dan istikharah. Meminta petunjuk yang sebenarnya gue tahu kalau Tuhan gue gak akan memberikan jawaban yang ibu gak setujui.
Gue beranjak dari kasur dan bergegas ke wc untuk ambil wudhu. Untuk menuju wc, gue harus melewati kamar ibu. Dari zaman kecil sampai sekarang, kebiasaan ibu adalah gak pernah menutup pintu kamar saat tidur malam. Jadi kita bisa melihat ke dalam kamar ibu.
Saat gue melewati kamar ibu, gue melihat ibu gue yang sedang tertidur. Damai. Tenang.
Bodoh sekali kalau gue ngecewain ibu. Gue tahu ibu memang sayang banget sama mawar. Tapi gue yakin beliau pasti kecewa kalau gue ikut mawar. Walaupun dia mempersilahkan gue lakukan yang terbaik menurut gue.
Gue lantas merubah niat. Dari yang awalnya meminta petunjuk apa yang harus gue pilih, gue merubah untuk memantapkan pilihan dan hati gue. Seketika gue udah punya pilihan. Inilah pilihan gue.
***
Sekarang gue harus sering-sering senyum saat ibu tanya kabar mawar. Karena memang semakin hari, komunikasi gue dengan mawar jauh semakin berkurang dan menjadi langka. Gue juga harus banyak-banyak senyum saat ibu minta gue jemput mawar kalau dia pulang malam. Karena gak mungkin juga gue menawarkan diri menjemput orang yang udah punya pacar. Kecuali kalau gue yang dimintai tolong. Pasti gue tolong.
Gue juga harus sering tersenyum saat beberapa kali ibu gue tanya "Kok mawar gak pernah main kesini lagi. Udah lupa ya sama mama"
Tapi gue bersyukur punya ibu seperti beliau. Dari beliau gue belajar, saudara itu bukan cuma orang yang mempunyai hubungan sedarah dengan kita.
Semua orang adalah saudara. Entah berbeda suku, agama, keyakinan, dll.
NB : beberapa minggu lalu entah kenapa ibu gue mau liat foto mawar yang baru. Dia minta liat di profile picture wa mawar. Pp wa mawar udah ganti ke fotonya bertiga dengan temannya. Gue saat itu gak kasih liat, karena pikir gue buat apa. Ibu sedikit memaksa, gue pun mengalah.
"Gemukan ya mawar sekarang," kata ibu saat liat fotonya. "Pasti sekarang dia merasa bebas. Gak tertekan lagi. Gak ada beban lagi. Sekarang kapan aja dia bisa pasang foto sama cowoknya. Tanpa ada rasa takut siapa yang bakal tahu. Kalau dulu dia pilih-pilih siapa orang yg boleh tahu hubungan kalian, sekarang dia bisa tunjukkin ke siapapun, ini lho cowok aku."
"Waktu sama kamu dia kurus. Wajahnya juga kayak orang yang lagi menahan beban. Gak plong. Sekarang beda. Dia gemukan. Ceria. Sekarang dia udah bahagia. Mama seneng liatnya. Mama seneng liat mawar bahagia. Berarti doa mama terkabul. Allah kasih dia kebahagiaan." Kata ibu lagi.
Gue gak menyangka kalau selama ini ibu selalu doain mawar. Saat itu gue seperti terlecut. Gue menambah 1 pelajaran lagi dari ibu. Yaitu tentang keikhlasan.
Cerita Kepada Alam : 2
Hai alam.
Kita akan bertemu lagi.
Tidak lama lagi aku akan mengunjungimu kembali.
Seperti janjiku, alam.
Aku akan menceritakan tentang duniaku.
Duniaku yang dulu.
Betapa indahnya duniaku.
Betapa sejuknya bila aku sedang bersamanya.
Betapa sempurnanya dia.
Apa kau juga pernah mempunyai dunia, alam?
Atau kau salah satu bagian dari duniamu sendiri?
Aku pernah berharap aku bisa bersama duniaku.
Selamanya.
Kita bersama sampai pemilik alam semesta memisahkan kita.
Tapi ternyata tidak mungkin, alam.
Pemilik semesta sudah memisahkan kita.
Bukan, bukan salah-Nya.
Bukan salah duniaku.
Bukan juga salahku.
Dunia yang mengharuskan kita seperti ini.
Duniaku dan dunianya berbeda.
Duniaku dan dunianya tak sama.
Duniaku dan dunianya tak bisa dipaksakan untuk bersama.
Sekarang duniaku sudah bahagia, alam.
Dia telah menemukan dunia yang baru.
Dia telah menemukan dunia yang tidak berbeda.
Dia telah menemukan dunia yang tak perlu memaksakan untuk bisa bersama.
Kenapa alam? Kau bertanya mengapa aku tidak mencari dunia yang baru?
Belum, alam.
Aku masih ingin menikmati keelokanmu.
Aku tidak berharap.
Aku tidak meratap.
Kubiarkan semua seperti angin.
Seperti angin yang membawaku kembali menemuimu.
Seperti janjiku, alam.
Saat aku berada di puncakmu nanti, aku akan berdoa.
Aku akan memohon.
Semoga duniaku selalu bahagia.
Bersama dunianya yang baru.
*Jakarta, 25 Oktober 2015
Sebuah Cerita Kepada Alam
Hai alam. Apa kabar?
Sudah lama ya kita gak bertemu.
Terakhir kali entah kapan.
Aku tidak tahu persis.
Saat itu perutku bahkan belum sebuncit sekarang.
Hai alam.
Aku sadar aku bukan orang yang berfisik kuat.
Disaat yang lain melaju dengan lancar, aku harus sering berhenti untuk beristirahat.
Makanya aku jarang mengunjungimu.
Namun temanku bilang, fisik bukan sebuah halangan.
Aku pun sudah mencobanya.
Dulu.
Dulu sekali.
Walau lambat, tapi aku bisa.
Hai alam, apa kau bertanya mengapa aku tidak pernah mengunjungimu lagi?
Selama beberapa masa ini, aku mempunyai dunia.
Duniaku yang indah.
Duniaku memberikanku keceriaan.
Kebahagiaan.
Aku selalu bersama duniaku.
Waktuku bahkan tidak cukup untuk sekedar mengunjungimu.
Lalu kenapa sekarang aku datang kepadamu?
Ya, alam.
Duniaku sekarang sudah pergi.
Hilang.
Dan mungkin tak akan pernah kembali.
Duniaku telah bertemu dunianya yang lain.
Meninggalkan aku disini.
Sungguh naif bukan?
Memang begitu, wahai alam.
Disaat kesepian melanda, hanya kau yang dapat menghiburku.
Hanya kau yang bisa menyemangatiku.
Hanya kau yang bisa membuatku sesaat melupakan duniaku.
Hai alam.
Aku tidak tahu apakah duniaku akan kembali.
Aku tidak tahu apakah aku akan menemukan dunia yang lain.
Tapi saat ini aku hanya ingin bercengkrama denganmu.
Bercerita.
Dan menikmati setiap jengkal keelokan rupamu.
Memang, alam.
Kita memang sudah lama tidak bertemu.
Kita memang sudah lama tidak berjumpa.
Tapi aku tidak pernah lupa cara menikmati keindahanmu.
Ohya, sepertinya aku akan sering mengunjungimu, alam.
Ada banyak hal yang belum aku ceritakan kepadamu.
Ada banyak hal yang mungkin ingin kau ketahui.
Nanti saat aku mengunjungimu lagi, aku akan menceritakannya kepadamu.
Wahai alam.
Aku memang belum pernah menaiki puncakmu.
Bahkan seperempat dari puncak itupun belum.
Tapi aku bertekad, suatu saat nanti aku akan menapak puncakmu.
Disana aku akan berdoa.
Memohon.
Untuk kebahagiaan duniaku.
Dan dunianya yang baru.
*Tidung Kecil, 10 Oktober 2015.
Sebuah Perjalanan ke Tempat Seorang Kawan
Kemarin gue ke tempat temen gue di daerah Matoa, Depok. Sebuah gubuk yang ada di tengah kebun. Tanpa listrik.
****
Hari Rabu tiba-tiba gue kepikiran buat melanglang buana kemana tau. Kebetulan waktu itu suasana hati gue lagi gak bagus. Sempet kepikiran mau ke Jogja sendirian, tapi niat itu gue urungkan karena keadaan kantong yang gak memungkinkan.
Gue pun teringat seorang teman dari zaman kuliah. Rizki, yang biasa dipanggil Penjo. Setau gue, dia punya ternak ayam di daerah Matoa. Dia tinggal di gubuk yang dibangun di depan kandangnya. Tapi gubuk itu gak ada listriknya.
Yaudah, dengan maksud mencari ketenangan dan kegiatan, gue langsung berniat menuju kesana. Malam itu juga gue bbm Penjo, menanyakan apakah hari Jumat dia ada disana. Untungnya dia Jumat ada disana. Gak balik ke rumahnya di daerah Mampang.
Kamis gue langsung mengurus cuti, dan Jumat cabutlah gue kesana setelah sholat Jumat. Sempet ke tempat teman lama dulu. Sambil cerita-cerita sebentar, lalu gue melanjutkan perjalanan.
Perjalanan itu gak susah. Karena sebelumnya gue pernah sekali kesana bareng temen-temen kampus. Tapi waktu itu kita gak menginap.
Ba'da Ashar gue baru sampai sana. Suasana masih asri. Sejuk. Sesaat gue bisa ngelupain perasaan gue yang bener-bener lagi gak enak. Bahkan 2 hari berturut-turut kerjaan gue sampai gak keurus.
Gue sholat Ashar, lalu istirahat sebentar. Setelah itu gue mengganti pakaian lalu membantu Penjo.
Yap, tujuan gue kesini memang mau membantu dia mengurus ayam dan kebunnya. Saat suasana hati lagi gak beres, gue lebih suka ke tempat yang sepi. Sendiri. Sambil nenangin hati dan pikiran.
Tugas pertama gue gak berat. Cuma menyiram pohon pisang yang ada di sekitar gubuknya. Sayangnya sumber air disana sedang kering. Tanah-tanah pada pecah. Akhirnya gue harus ambil air buat menyiram pohon dari kali yang ada di dekat situ.
Disana bahkan gue masih bisa nemuin ular
Maghrib kerjaan itu selesai. Gue istrahat, bersih-bersih badan lalu sholat maghrib.
Kita mengobrol-ngobrol sebentar soal ternak ayamnya dia. Tentang kebunya dll. Gak terasa Isya tiba. Kita lalu sholat Isya berjamaah.
Selesai sholat, kita makan. Jangan harap makan makanan ala barat ada disitu. Kita makan nasi dengan lauk ikan asin kering dan abon. Buat orang lain mungkin itu sesuatu yang gak enak. Tapi buat gue, lauk kayak gitu enak banget. Apalagi dimakan di tempat tenang kayak gini.
(Kekeringan)
Suara jangkrik dan kodok mulai bersahutan. Padahal jam baru menunjukkan pukul 8 malam. Penjo lalu bergegas tidur. Tanpa listrik disini, gak banyak yang bisa kita lakuin selain tidur. Gue yang biasa tidur jam 11 keatas, otomatis mata masih segar. Akhirnya gue bbman sama temen gue sambil curhat-curhat kecil.
Tiba-tiba jam 12, alarm dari hape Penjo berbunyi. Tandanya dia harus ke atas. Ke warteg atau tempat pecel lele untuk meminta nasi bekas yang gak dimakan. Buat apa? Buat pakan ayam-ayamnya besok pagi.
Jam 1 Penjo baru jalan. Karena mulai mengantuk, gue gak ikut keatas. Tapi itu pilihan yang salah. Di dalam tempat yang gak ada listrik. Gelap gulita. Ditengah kebun dengan pohon-pohon besarnya. Seendirian pula. Rasanya gue lagi dipelototin sama demit-demit di sekitar situ. Demi menjaga gengsi, gue sok berani. Gue ambil hape lalu buka-buka situs buat mengusir rasa takut.
Jam 2 Penjo baru balik ke gubuk. Setelah itu gue pun tidur.
****
Hari kedua. Sabtu jam setengah 7 pagi.
Gue udah bersiap-siap buat berkebun lagi. Tugas pertama gue kayak kemarin, menyiram pohon yang ada di situ.
Kelar menyiram pohon, gue lalu membantu dia membuat saluran irigasi. Mumpung belum hujan, saluran irigasi harus jadi supaya kalau nanti hujan turun, pengairan disana berjalan baik.
Tapi sayang, baru setengah jalan, gue mesti balik ke Jakarta karena ada suatu hal yang mendesak.
Setelah mandi, jam 11 gue pun cabut dari tempat Penjo buat balik ke Jakarta. Walau belum sepenuhnya tenang, tapi gue dapat pelajaran dari tempat ini. Pelajaran yang semoga bisa membuat gue jadi lebih baik lagi.
Thanks kawan atas ketersediaannya menampung gue selama ngerepotin disana.
TAMBAHAN : Thanks juga buat temen-temen kantor yang udah kuatir sama keadaan gue. Gue gak akan ngelupain itu. I love you.... ayushita. Muaacchh.. :'* :'*
Empat Bulan Kemudian (Every Street Has a Story)
Hal - Hal Yang Masih Diingat Saat Puasa Masa Kecil